Kandang Sapi |
Sebuah bangunan bersejarah peninggalan
zaman kolonialisme Belanda yang berada di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung
Barat, Jawa Barat terbengkalai dan tak terurus.
Padahal, gedung tersebut adalah bekas
kantor radio komunikasi yang kali pertama dibangun oleh Belanda di Indonesia
bernama Telepoonken.
Meski dinding gedung tersebut masih
berdiri kokoh dengan material campuran batu andesit dan kapur berdesain ala
Belanda, namun karena tidak terurus. Gedung tersebut terlihat sangat kusam.
Bahkan, kondisi lebih parah tersaji di dalam.
Kemegahan di dalam bangunan yang
menurut cerita penuh dengan peralatan komunikasi tercanggih pada zamannya, kini
berganti dengan pemandangan tak sedap. Puing-puing pilar yang mulai rusak
tergerus waktu berceceran di lantai.
Selain itu, rongga ruangan yang sangat
luas dipenuhi dengan jerami serta beberapa kandang ayam yang tak terpakai.
“Kadang-kadang dijadikan kandang
kerbau. Tempat istirahat kerbau-kerbau kalau mau ke ladang, dikasih makan di
sana,” kata peneliti dan pelaku sejarah Cililin, Drs H. Amar Sudarman, saat
ditemui di kediamannya di Cililin, Senin (6/1/2013) kemarin.
Amar menambahkan, banyak juga warga
sekitar yang membangun rumah-rumah di sekeliling gedung dengan memanfaatkan
kayu-kayu jati yang setia menyangga eks kantor radio itu. Hal tersebut
belakangan diketahui sebagai penyebab rusaknya pilar-pilar beton di dalam
bangunan.
“Dulu juga pernah dipakai warga untuk
membuat tahu, waktu itu beras masih mahal. Makanya sampai saat ini orang
kenalnya gedung tahu,” kata Amar.
Markas BKR dan TKR
Pada zaman perang kemerdekaan, gedung
yang terlantar pascakebangkrutan radio komunikasi seluruh tanah jajahan
Belanda, yaitu Radio Nederland Indishe Radio Ommelanden (NIROM) itu sempat
dimanfaatkan oleh tentara perjuangan kemerdekaan seperti BKR dan TKR sebagai
markas pertahanan.
Hingga akhirnya bangunan tersebut
ditetapkan sebagai markas Batalyon 22 Jaya Pangrengot/Guntur 1 Resimen. Gedung
tersebut semakin rusak ketika Jepang datang.
Menurut Amar, Jepang pada saat itu
tidak menyukai bangunan-bangunan sisa peninggalan Belanda. Mereka lebih memilih
untuk memanfaatkan tempat tersebut sebagai gudang penyimpanan senjata yang
bertolak jauh dari desain semula, yaitu pusat komunikasi.
“Bangunan yang kecil memang pernah
dipakai oleh rakyat untuk mengeksekusi anggota DI TII, sekitar tahun 1951
sampai 1958. Mereka diculik dan ditampung di sana dulu,” ujarnya.
Warga sekitar pun seolah mengabaikan
kondisi rusak tersebut. Padahal, sebagai salah satu bukti sejarah yang masih
berdiri kokoh, bangunan tersebut bisa menjadi bahan edukasi untuk murid-murid
SMA Negeri 1 Cililin.
Sementara itu, selain bangunan utama
pemancar gelombang radio, tepat di sebelahnya terdapat bangunan yang lebih
kecil yang dahulu berfungsi sebagai pembangkit tenaga listrik. Bangunan yang
memiliki delapan pintu itu lebih parah kondisinya.
Meski dinding batunya masih kokoh
berdiri, namun sudah tidak beratap lagi. Delapan pintu yang tersebar di
berbagai penjuru pun sengaja ditutup oleh warga menggunakan seng bekas dan
kayu-kayu tak terpakai, seolah menunjukkan kalau bangunan yang dalamnya sudah
menjadi kandang ayam dan kebun sudah menjadi milik perorangan.
“Kalau warga sebenarnya berharap
gedung ini sedikit di renovasi dan dijadikan gedung serbaguna karena sebenarnya
masih layak,” harapnya.
Namun sepertinya harapan Amar melihat
gedung itu kembali kokoh berdiri akan sulit terwujud. Pasalnya, meski saat ini
tanah di tempat tersebut masuk dalam kepengelolaan Perhutani, namun untuk tanggungjawab
pemeliharaan dan juga perbaikan gedung tersebut tidak jelas.
Ia pun berharap pemerintah provinsi
Jawa Barat mau mengambil tanggung Jawab tersebut ke depannya.
No comments:
Post a Comment